Demi sebuah pantai bernama KLAYAR (Episode #1)

Tidak pernah terbayangkan dalam benak saya bakal melakukan perjalanan Yogya-Pacitan di malam hari menggunakan motor demi sebuah pantai bernama KLAYAR. Perjalanan gila macam apa ini. Tapi toh saya berusaha menikmati setiap jalur yang kami lewati walaupun selama perjalanan yang kami temui hanya kegelapan yang ditembus cahaya lampu motor. Mungkin orang lain bakal berpikir dua kali untuk melakukan seperti yang kami lakukan waktu itu.

Ide untuk susur pantai di Pacitan berawal dari foto pantai keren di album foto FB salah seorang teman saya. Usut punya usut ternyata TKPnya adalah Pantai Klayar di Pacitan. Akhirnya setelah terjadi pembahasan jarak jauh antara Cikarang-Yogya dan dilanjutkan diskusi ketika saya sudah berada di Yogya, maka disepakati kami akan berangkat hari Jumat siang setelah Jumatan. Peserta berjumlah 7 orang yaitu saya, Sari, Pakbi, Arif, Aris, Nia dan Nanung.

Manusia hanya bisa berencana, hanya Tuhanlah Sang Maha Penentu. Jumat siang itu, hujan melanda Yogya. Emang sih dari paginya udah mendung-mendung gimana gitu. Akhirnya dari rencana berangkat jam 1 siang, sekitar jam 4 sore kami baru berangkat dari kosan Sari. Tujuan pertama adalah rumahnya Arif buat packing ulang. Secara perbekalan kami meliputi tenda 2 unit, sleeping bag 2 buah (kalo gak salah), barang-barang pribadi, dan keperluan logistik. Semua harus diatur baik-baik karena perjalanan kami kali ini menggunakan motor. Dari rumah Arif, kami kemudian ke rumah Pakbi yang tidak jauh dari rumah Arif untuk memasang kaca spion motornya Aris yang saat itu ternyata cuma ada satu. Setelah urusan kaca spion beres, kami pun berangkat. Sebelum benar-benar melaju menuju Pacitan, kami masih harus menjemput Nia dan temannya yang kemudian saya kenal bernama Nanung di Jalan Wonosari, depan Fun Kids. Ketika saya dan Pakbi sudah berhasil bertemu Nia dan Nanung, kami malah kehilangan jejak Sari, Aris dan Arif. Tunggu punya tunggu, setelah berkali-kali tidak berhasil menghubungi ponsel Sari dan Aris, kami memutuskan untuk langsung berangkat dengan harapan bakal bertemu mereka di suatu titik yang tidak begitu jauh.

Menjelang magrib, akhirnya saya, Pakbi, Nia dan Nanung akhirnya bertemu Sari, Aris dan Arif yang ternyata sudah dari tadi tiba di sebuah warung kaki lima di depan alun-alun kota Wonosari. Setelah mengisi perut, kami bergegas meninggalkan Wonosari untuk selanjutnya menuju Klayar. Sepanjang yang saya ingat saat itu kami melalui rute Semanu, Pracimantoro yang masih masuk wilayah Yogya, sehingga jalanannya masih mulus puol….Kata Pakbi dan Arif, gampang kok menentukan kita masih di wilayah Yogya atau sudah masuk Jawa Tengah. Kalau jalanannya mulus berarti kita masih di Yogya, tapi kalau jalanan sudah rusak berarti sudah masuk wilayah Wonogiri yang mana masuk ke dalam wilayah propinsi Jawa Tengah. Waduh….hipotesa dari mana lagi itu…Tapi kalau dirasa-rasa, benar juga sih apa yang dikatakan Pakbi dan Arif, ketika kami masuk ke daerah Giritontro dan Giriwoyo, sudah bisa dipastikan kami berada di wilayah Jawa Tengah, karena jalanannya jelek pun….Empat motor beriring-iringan memecah kesunyian malam itu. Sesekali kami berpapasan dengan motor penduduk yang kampungnya kami lalui malam itu.

Ketika kami melewati papan yang bertuliskan Kalak, Pakbi mengatakan bahwa kami sudah hampir dekat dengan Pantai Klayar. Tapi….ternyata dari papan yang bertuliskan Kalak tadi, kami masih harus ajrut-ajrutan di atas motor yang berjalan menyusuri jalan rusak nan gelap untuk menuju Pantai Klayar. Dan, kami pun tiba di sebuah lokasi yang teuteup gelap gulita. Satu-satunya tanda bahwa kami sudah sampai di sebuah pantai adalah bunyi debur ombak yang menderu-deru menyambut kedatangan kami malam itu. Perjalanan Yogya-Pantai Klayar kami saat itu memakan waktu kurang lebih 4 jam. Bisa dibayangkan, saat itu pinggang dan kaki saya rasanya mau patah. Wong, biasanya saya naik motor ojek PP dari kosan ke kantor cuma tidak lebih dari 15 menit.

Bermodal senter dan sorot lampu motor, kami pun mendirikan tenda (kecuali saya yang sibuk foto-foto hehehe). Tidak sampai setengah jam si tenda merah berhasil didirikan, tapi tidak dengan si tenda kuning. Bermenit-menit waktu yang dibutuhkan untuk memasang tenda pinjaman tersebut. Setelah dibolak-balik, diputar-putar, akhirnya si kuning pun terpasang. Acara selanjutnya adalah masak air untuk membuat kopi dengan menggunakan kompor buatan Pakbi dan Arif yang berbahan bakar spirtus. Hmmm…malam-malam, ditemani hembusan angin pantai, diiringi debur ombak, sambil minum kopi panas merupakan perpaduan yang sangat pas saat itu. Satu lagi kegiatan paling menyenangkan ketika kita camping adalah berbaring sambil memandangi bintang-bintang di langit. Semua orang memilih berbaring beralas sleeping bag di depan tenda (kecuali Nanung yang kayaknya sudah tidur duluan di dalam tenda, tapi abis itu dia gabung ikut-ikutan ngeliat bintang hehehe…). Sampai akhirnya benar-benar mengantuk saya pun akhirnya memilih tidur di dalam tenda.

(to be continued)

Bertaruh nyawa di lautan

Siapa yang tidak mengenal Ujung Kulon? Daerah yang dalam pelajaran Geografi saat saya sekolah dulu disebut-sebut sebagai habitat badak bercula satu. Bahkan sang badak pernah dijadikan gambar pada sebuah perangko seri WWF sekitar tahun 1996. Perjalanan saya bulan November tahun kemarin bersama teman-teman ke TN Ujung Kulon bukan hendak berburu sang badak, tapi kalau sempat bertemu ya hitung-hitung bonus lah.

Sekitar November tahun lalu saya dan beberapa teman mengadakan perjalanan ke TN Ujung Kulon dengan target destinasi Pulau Peucang, Pantai Cibom, Tanjung Layar, Padang Pengembalaan Cidaon, Karang Copong dan Pulau Badul. Pada awal perjalanan semua berjalan lancar. Kami berangkat dari Jakarta hari Jumat malam, kemudian sampai di Desa Sumur, Banten Sabtu dini hari. Paginya ketika matahari sudah menampakkan sinarnya kami pun melanjutkan perjalanan menuju Pulau Peucang dimana di sana terdapat penginapan yang akan kami tempati selama trip. Pagi itu laut begitu tenang dan langit pun cerah. Penyeberangan dari Desa Sumur menuju Pulau Peucang memakan waktu sekitar 3 jam menggunakan kapal kayu milik nelayan setempat. Mendekati dermaga Pulau Peucang tidak tahan rasanya ingin cepat-cepat menceburkan diri di air yang berwarna biru tosca itu. Tiba di Pulau Peucang, rombongan kami disambut oleh sekawanan monyet dan beberapa babi hutan. Kami pun kemudian menyimpan barang-barang di penginapan dan setelah itu dilanjutkan dengan snorkeling di sekitaran pantai Pulau Peucang. Sorenya kami menuju pantai Cibom kemudian trekking ke Tanjung Layar. Setelah itu kami menuju Cidaon, di mana terdapat padang penggembalaan banteng. Acara sore itu diakhiri dengan menikmati sunset dari dermaga pantai Cidaon. Malam harinya setelah acara makan malam dan perkenalan sebenarnya ada acara api unggun. Tetapi saya lebih memilih untuk langsung menuju kamar, karena sudah ngantuk banget.

Minggu pagi, Pulau Peucang diguyur hujan. Niat berburu sunrise pun batal dilakukan. Rencana di hari kedua trip ini kami akan ke Karang Copong, snorkeling di sekitaran Pulau Badul kemudian kembali ke Jakarta. Sampai sekitar jam 8 pagi, hujan belum juga reda. Mengingat hujan yang masih belum reda, akhirnya disepakati trekking tidak akan sampai ke Karang Copong, tetapi hanya sampai ke pohon Kiara atau yang lebih dikenal dengan akar Kiara. Berbekal jas hujan dan payung, kami pun berjalan menembus hutan di Pulau Peucang untuk melihat sebuah pohon raksasa yang masuk ke dalam keluarga Moraceae alias suku nangka-nangkaan ini. Setelah puas berfoto di sekitaran akar Kiara, kami segera kembali ke penginapan untuk berkemas dan melanjutkan perjalanan ke Pulau Badul.

Diiringi hujan rintik-rintik, perlahan 2 kapal kayu berisikan rombongan saya dan teman-teman beranjak meninggalkan dermaga Pulau Peucang. Tujuan selanjutnya adalah Pulau Badul. Menurut informasi perjalanan dari Pulau Peucang ke Pulau Badul akan memakan waktu 2 jam. Di tengah perjalanan hujan tak kunjung reda. Awalnya saya masih menikmati perjalanan itu. Kami masih bisa bercanda dan bersenda gurau. Tak lama suasana ceria berubah menjadi suasana mencekam. Tak hanya hujan yang semakin membesar, tapi juga ombak yang semakin meninggi, mulai menimbulkan kekalutan di dalam kapal. Kapal yang bergoyang ke kanan dan kiri diterpa ombak menyebabkan beberapa kali air laut masuk ke dalam kapal. Kondisi makin diperparah dengan mesin kapal yang berkali-kali mati. Sementara kapal satunya yang berisi teman-teman yang lain sudah melaju cepat di depan kami. Bahkan saya sempat muntah akibat kapal yang bergoncang dahsyat. Akhirnya kapal benar-benar mati total, karena tali kipasnya putus. Kemudian seorang awak kapal terlihat melempar jangkar. Saat itu kami benar-benar in the middle of nowhere. Di sekeliling yang tampak hanya laut dan laut, sementara kapal terus diayun-ayun oleh ombak. Saat itulah saya berpikir jika hal terburuk akan terjadi, dengan kata lain kapal akan terbalik, dimana saya tidak bisa berenang adalah saya membutuhkan life vest. Namun sayangnya, stok life vest di kapal sangat terbatas. Itu pun sudah dipakai oleh teman-teman yang duduk di bagian belakang kapal. Alhasil saat itu yang saya lakukan adalah mengirim sms ke ibu saya (walaupun saya tau saat itu mungkin sedang tidak ada sinyal), terus berdoa dengan segenap stok doa yang saya punya dan terus memegang sebuah gallon air mineral kosong, benda yang saya anggap bisa saya gunakan untuk tetap mengapung jika kapal terbalik. Saat itulah saya merasakan batas hidup dan mati itu sangat tipis. Kapal bisa kapan saja terbalik dan di tengah laut yang sedang bergejolak itu siapa yang bisa menjamin keselamatan diri kita selain Allah Yang Maha Kuasa.

Alhamdulillah doa saya dan tentu saja doa teman-teman yang lain dijawab oleh Allah. Saat itu lewatlah sebuah kapal patroli, yang memberikan tali kipas baru untuk dipasang di kapal kami, kemudian kapal kami bisa melaju normal. Tak lama kapal teman yang lain datang mendekat. Setelah berembuk, diputuskan kami tidak jadi meneruskan perjalanan ke Pulau Badul, melainkan langsung kembali ke Desa Sumur. Saya sendiri pun sudah tidak bersemangat setelah melalui suasana yang sangat menegangkan tadi. Akhirnya kami tiba dengan selamat di Desa Sumur, walaupun saya sendiri masih merasa deg-degan dan lutut lemas akibat kejadian tadi. Tak henti-hentinya dalam hati saya berucap syukur karena Allah memberikan keselamatan untuk saya dan teman-teman.

Perjalanan kami yang sempat menegangkan ditutup dengan makan malam seafood yang mantap di Warung Kiray di Carita. Sebelumnya sempat mampir juga ke Rumah Makan Ibu Entin di Labuan untuk memborong otak-otak.

Well, semenjak kejadian itu saya akhirnya memutuskan untuk memiliki life vest sendiri yang bisa saya bawa setiap ada trip yang berbau-bau laut, karena tidak setiap kapal yang kita gunakan untuk menyeberang dari satu pulau ke pulau lain menyediakan life vest yang memadai. Saya juga berniat belajar berenang, paling tidak untuk jaga-jaga di saat kondisi darurat.

Long Distance Love dari masa ke masa

Terinspirasi buku Long Distance Lovenya Imazahra, saya jadi pengen cerita-cerita juga nih mengenai urusan perLDLan yang pernah saya dan keluarga saya alami.

Setelah dirunut-runut ternyata tradisi LDL sudah dimulai sejak jaman ayah dan ibu saya masih pacaran dulu. Dulu sekitar tahun 1970an ayah saya yang saat itu masih bujangan tentunya, merantau dari Bandung ke Sungai Gerong untuk bekerja di sebuah perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi negara. Sungai Gerong adalah suatu daerah di Sumatera Selatan (waktu tempuh sekitar 1,5 jam ke/dari Palembang), dimana di sana terdapat sebuah unit pengolahan minyak bumi yang dikenal dengan UP III (Unit Pengolahan III). Sekedar informasi, Pertamina memiliki 7 unit pengolahan yang berlokasi di Pangkalan Brandan, Sumut (UP I), Dumai, Riau (UP II), Plaju-Sungai Gerong, Sumsel (UP III), Cilacap, Jateng (UP IV), Balikpapan, Kaltim (UP V), Balongan, Indramayu, Jabar (UP VI) dan Sorong, Papua (UP VIII). Sementara ibu saya bekerja sebagai seorang beauty advisor sebuah merk kosmetik yang ditempatkan di Jakarta. Jadilah bertahun-tahun mereka menjalani masa pacaran secara LDL. Sampai kemudian mereka menikah, ibu saya memutuskan pindah ke Sungai Gerong mengikuti ayah saya, yang berimbas saya dan adik perempuan saya dilahirkan di Sungai Gerong. Tapi entah kenapa di kemudian hari dari mulai dari ijasah, KTP sampai paspor tempat lahir saya ditulis Palembang.

Sekitar tahun 1993, kami mendapat kabar bahwa ayah akan dipindah ke Balongan, Indramayu. Persiapan pun mulai dilakukan. Berhubung saat itu saya sudah kelas 6, maka ayah dan ibu saya memutuskan untuk memindahkan saya duluan ke Cirebon, dimana di sana tinggal nenek dari ibu saya yang jaraknya sekitar 1 jam ke Indramayu, agar bisa mengikuti Ebtanas di Cirebon (katanya sih supaya pas masuk SMP, ngurusnya lebih mudah). Maka, setelah pembagian raport catur wulan 1 di SD saya di Sungai Gerong, saya pun dipindahkan ke sebuah SD dekat rumah nenek saya untuk meneruskan catur wulan 2 dan 3 di Cirebon. Alhasil di umur saya yang baru 11 tahun saya sudah harus hidup terpisah dari ayah dan ibu saya (ayah sedang masa detasir di Balongan, ibu masih tetap di Sungai Gerong), dan tinggal di rumah nenek. Selain mengalami homesick (tentu saja), saya pun mengalami gegar budaya. Bagaimana tidak. Sewaktu masih tinggal dan sekolah di Sungai Gerong, tidak ada mata pelajaran bahasa daerah Palembang. Tapi ketika saya pindah ke Cirebon, saya harus menghadapi mata pelajaran bahasa Cirebon (plus tulisan hanacaraka) dan bahasa Sunda sekaligus. Parahnya pada saat Ebta tulis, mata pelajaran tersebut masuk dalam mata pelajaran yang diuji. Untungnya guru SD saya maklum kalau saya murid baru pindahan dari daerah Sumatera, sehingga pada saat ujian kedua mata pelajaran tersebut saya malah dibantu hehehe……

Akhirnya sekitar tahun 1994, ibu dan adik perempuan saya menyusul pindah ke Cirebon. Ayah pun telah menyelesaikan masa detasirnya. Kami pun kembali berkumpul dalam satu rumah. Pada tahun 1994 pun lahir adik laki-laki saya di Cirebon. Masa berkumpul itu pun ternyata tidak lama. Ketika kompleks untuk karyawan di Balongan sudah siap untuk dihuni, ayah memutuskan pindah ke Balongan. Lagi-lagi saya harus tinggal di rumah nenek saya alias tidak ikut pindah ke Balongan, karena saat itu sudah menjelang ujian akhir SMP, sehingga dirasa tanggung untuk pindah sekolah ke Balongan. Setiap Sabtu siang pulang sekolah saya mudik ke rumah orang tua di Balongan, kemudian Senin pagi kembali ke Cirebon langsung menuju sekolah. Sekitar 1 tahun keluarga saya tinggal di Balongan, akhirnya ayah memutuskan untuk kembali tinggal di Cirebon. Sehingga beliaulah yang mengalah setiap hari kerja PP Cirebon-Balongan. Maka kami pun kembali tinggal satu rumah.

Menjelang lulus SMU adalah masa yang sulit bagi saya. Sebenarnya saya ingin sekali kuliah di Yogyakarta. Sayangnya, ayah tidak mengizinkan dengan alasan di sana tidak ada saudara yang bisa menemani ketika saya akan persiapan menjelang UMPTN, karena pada saat yang bersamaan ayah saya ditugaskan untuk bekerja di Pakistan selama 1 tahun, sehingga tidak bisa menemani saya di Yogya. Sedangkan di Bandung, banyak saudara dari ayah yang bisa menemani saya pada saat persiapan menjelang UMPTN. Akhirnya saya pun kuliah di Bandung. Maka kembali keluarga saya menjalani LDL. Ayah di Pakistan, saya di Bandung sementara ibu dan kedua adik saya di Cirebon.

Setahun di Pakistan, ayah pun kembali ke Indonesia. Hanya sekitar 3 tahun ayah di rumah, beliau kembali ditugaskan ke Cilacap selama 1 tahun. Ayah memutuskan agar ibu dan adik laiki-laki saya tetap di Cirebon saja. Pada saat itu adik perempuan sudah kuliah di Yogya. Sehingga kami pun hidup terpencar-pencar. Saya di Bandung, adik perempuan saya di Yogya, ayah di Cilacap sementara ibu dan adik laki-laki saya tetap di Cirebon. Untunglah tugas ayah di Cilacap hanya 1 tahun, setelah itu beliau kembali ke Cirebon, dan tetap bekerja di Balongan sampai beliau pensiun.

Setelah lulus kuliah saya sempat bekerja di Cirebon sampai kemudian sekarang terdampar bekerja di Cikarang. Sementara adik perempuan saya setelah kuliahnya yang di Yogya selesai, kembali tinggal di rumah di Cirebon, sehingga tinggal saya yang masih merantau jauh dari rumah hehehe…


Berburu batu di Banten Lama

Trip kali ini saya bersama Vinna, seorang teman yang saya kenal dari Komunitas Arca, serta Atit dan Yoso. Atit dan Yoso adalah temannya Vinna. Kalau saya dan Vinna pecinta candi dan benda2 kuno, Atit dan Yoso adalah sketcher. Trip gabungan yang seru….

1. Keraton Kaibon
Tujuan pertama kami adalah Keraton Kaibon. Sempat nyasar dan bolak-balik bertanya dengan orang, akhirnya kami sampai juga di tempat ini. Kami sempat bertanya dengan beberapa orang di jalan mengenai arah menuju Keraton Kaibon, tapi semua mengatakan tidak tau. Namun ketika kami menanyakan dimana letak daerah Kasemen, serta merta mereka langsung memberikan petunjuk arah.
Keraton ini terletak di Kelurahan Kasunyatan, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang. Keraton ini dibangun pada tahun 1815. Nama Kaibon berasal dari kata Kaibuan yaitu Ratu Aisyah, ibunda dari Sultan Syafiuddin yang dinobatkan menjadi raja sementara dalam menjalankan pemerintahan, karena pada saat itu Sultan Syafiuddin yang merupakan sultan ke-21 masih berumur 5 tahun. Pada tahun 1832, keraton ini dihancurkan oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Waktu saya, Vinna, Atit dan Yoso ke sana, di tempat ini sedang ada syuting entah sinetron atau apa, karena kami sempat bertemu Rizki Hanggono dan para krunya. Mungkin karena sedang ada syuting, maka kami tidak ditarik bayaran untuk memasuki kawasan ini bahkan kami berempat sempat dikira bagian dari kru film hehehe……

Sementara Atit dan Yoso asyik menggambar di bawah pohon beringin yang rindang, saya dan Vinna berpanas-panasan mengelilingi setiap sudut komplek keraton yang luas ini. Walaupun kebanyakan sudah merupakan reruntuhan, masih ada gerbang dan tembok pagar bagian depan yang utuh.

2. Benteng Surosowan
Tujuan berikutnya adalah benteng Surosowan. Lokasinya berdekatan dengan Masjid Agung Banten, Kampung Banten, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Serang. Bangunan ini didirikan pada tahun 1526, pada masa pemeritahan Sultan Maulana Hasanudin, sultan kedua Kasultanan Banten. Luas areanya kurang lebih 3,8 hektar. Benteng Surosowan telah tiga kali dibangun akibat hancur karena perang. Terakhir, dihancurkan oleh Daendels pada tahun 1808.
Begitu tiba di kawasan ini, sempat bingung mau masuk ke dalam bentengnya lewat mana, karena semua gerbangnya dikunci. Tau-tau saya melihat Yoso sudah berdiri di atas dinding benteng, kemudian saya melihat tangga kayu yang bersandar di dinding benteng setinggi kurang lebih 2 meter. Akhirnya saya , Vinna dan Atit mengikuti Yoso naik ke atas dinding benteng menggunakan tangga kayu tersebut. Ternyata di dalam benteng kami hanya menemui reruntuhan yang lebih parah daripada di Keraton Kaibon. Bangunan-bangunan di dalamnya nyaris rata dengan tanah. Tetapi kondisi tersebut tidak menyurutkan kami untuk menjelajahi setiap sudutnya walaupun saat itu panas matahari sangat terik. Di tengah benteng kami menemukan kolam yang kini berisi air berwarna hijau, yang dipenuhi ganggang dan lumut. Kolam ini ternyata bernama Kolam Roro Denok, di tengah kolam, terdapat tempat istirahat bernama Bale Kambang. Setelah puas berfoto, kami pun berkeliling. Hasilnya kami menemukan banyak celana dalam pria di dasar beberapa kolam yang berserakan di benteng tersebut. Iyyekkksss!!! Jijay bajay banget dah…..
Ternyata untuk memasuki benteng ini secara legal adalah dengan mengunjungi Museum Kepurbakalaan yang terletak di depan benteng, untuk meminjam kunci gerbang benteng. Ternyata lagi, benteng ini sekarang selalu dikunci karena sering dimasuki orang-orang tidak bertanggung jawab untuk melakukan perbuatan mesum. Wah…pantesan banyak nemu celana dalam pria yang ditinggalkan pemiliknya di sini hehehe…..

3. Masjid Agung Banten
Tidak jauh dari benteng Surosowan, terdapat Masjid Agung Banten. Di lingkungan sekitar masjid banyak pedagang yang rata-rata menjual bakso dan mie ayam. Banyak juga yang menjual kopiah, tasbih, kaligrafi dan minyak wangi, sehingga jalan masuk menuju masjid pun jadi tidak jelas karena dipenuhi lapak-lapak para pedagang. Masjid ini memiliki menara yang indah. Menara di depan masjid ini dibangun pada masa kekuasaan Sultan Haji pada tahun 1620 oleh seorang arsitek Belanda, Hendrik Lucazoon Cardeel. Pada waktu itu, Cardeel memang membelot ke pihak Banten, dan kemudian dianugerahi gelar Pangeran Wiraguna.
Walaupun ada tulisan gelandangan, pengemis dan tukang jualan dilarang berkeliaran di sekitaran masjid tetapi tetap saja di pintu masuk, di halaman, di selasar, di tempat parkir banyak pengemis yang meminta bahkan memaksa agar pengunjung memberikan uang kepada mereka, tukang jualan kantong kresek, tukang foto keliling, dan tukang jualan emping. Saya agak kurang suka dengan suasana masjid dan sekitarnya yang sangat ramai pada hari itu. Apalagi banyak terlihat sampah berserakan di mana-mana. Mungkin juga karena hari itu hari Mingggu jadi pengunjungnya sangat banyak. Area masjid dan menaranya yang indah itu tak ubahnya seperti pasar yang hiruk pikuk oleh orang-orang.
Mata saya kemudian tertumbuk pada kerumunan orang yang berbaris di depan sebuah bangunan yang berada di samping bangunan masjid. Ternyata mereka sedang antri untuk berdoa di kompleks makam yang menurut informasi terdapat makam para sultan Banten dan keluarganya. Waduh ternyata tempat ini banyak dikunjungi orang dengan tujuan berdoa di makam untuk mengharap keberkahan. Mengharap berkah kok ya di makam sih….

4. Jembatan Rantai
Dari Masjid Agung Banten, kemudian kami beralih ke sebuah jembatan putus yang terletak di depan masjid. Jembatan ini bernama jembatan Rantai. Ternyata jembatan ini pun masuk ke dalam benda cagar budaya yang dilindungi. Menurut informasi yag tertera di papan nama, jembatan ini dulu berfungsi sebagai “tol perpajakan” bagi setiap kapal kecil atau perahu pengangkut barang dagangan pedagang asing yag memasuki Kota Kerajaan.
Jembatan ini dibangun dari bata dan karang, serta diduga memakai tiang besi dan papan untuk fungsi penyeberangan dan kerekan rantai yang berfungsi ganda bila ada lalu lalang kapal kecil, jembatan bisa dibuka dan bila tidak ada kapal masuk, jembatan ditutup sehingga berfungsi sebagai sarana penyeberangan orang dan kendaraan darat.
Sayang papan penghubung yang bisa dibuka tutup itu kini sudah tidak ada dan sungai yang konon katanya dulu dilalui kapal-kapal dagang itu sudah dipenuhi tanaman-tanaman liar.

5. Benteng Speelwijk
Benteng Speelwijk adalah tujuan kami berikutnya. Lokasinya terletak dekat pantai, di Kampung Pamarican, Desa Banten, Kecamatan Kasemen. Menurut informasi hasil googling katanya benteng ini hanya terletak 500 meter ke arah utara dari Masjid Agung Banten. Maka dari Masjid Agung Banten kami pun mengambil arah ke kiri sampai melintasi rel kereta api, kemudian berbelok ke kiri melewati rumah-rumah penduduk. Tetapi sejurus kemudian kami malah menemukan jalan yang ditutup palang. Akhirnya kami pun memutar kembali ke jalur semula melewati Masjid Agung Banten dan Benteng Surosowan, kemudian belok kanan ke jalan di samping Benteng Surosowan. Kira-kira 15 menit kemudian kami pun sampai di benteng yang konon namanya diambil untuk menghormati seorang Gubernur Jendral Belanda bernama Speelma. Sementara Atit dan Yoso sibuk menggambar, saya dan Vinna langsung mengelilingi benteng ini.
Seperti di lokasi-lokasi sebelumnya, lagi-lagi saya menjumpai bagian dalam benteng ini digunakan untuk bermain bola oleh masyarakat sekitar dan tempat mencari makan yang nyaman bagi kambing-kambi
ng. Serupa dengan Benteng Surosowan, wujud Benteng Speelwjik juga sudah tinggal reruntuhan dengan menyisakan sedikit bangunan yang masih bisa dinikmati seperti menara pandang yang mungkin dulu digunakan sebagai menara pengintai. Selain itu juga nampak ada bangunan yang ditengarai adalah sebuah makam orang Belanda yang disebut Kerkrof.

6. Masjid Pacinan Tinggi
Ketika akan menuju benteng Speelwijk, kami melintasi masjid ini, tetapi karena tanggung, kami memutuskan ke tempat ini setelah dari Benteng Speelwijk. Sekali lagi, saya mendapati lokasi ini dijadikan tempat bermain bola oleh masyarakat sekitar. Masjidnya sendiri sudah tidak ada, yang tersisa hanya sebuah menara yang kondisinya memprihatinkan dan sisa reruntuhan bangunan yang mungkin dulunya mihrab. Walaupun terdapat papan yang menyatakan bahwa masjid ini termasuk benda cagar budaya tetapi sepertinya hanya sekedar papan nama belaka. Di area ini juga terdapat sebuah makam Cina yang pada nisannya tertera tulisan dalam aksara Cina. Sayang tak satu pun dari kami yang bisa mengartikan aksara Cina tersebut.

Menjelang senja, kami pun menyudahi perburuan kami hari itu dengan sejuta kekaguman akan kejayaan Kesultanan Banten di masa lalu. Semoga saja bangunan-bangunan tersebut tak lekang digerus waktu.