Berburu batu di Banten Lama

Trip kali ini saya bersama Vinna, seorang teman yang saya kenal dari Komunitas Arca, serta Atit dan Yoso. Atit dan Yoso adalah temannya Vinna. Kalau saya dan Vinna pecinta candi dan benda2 kuno, Atit dan Yoso adalah sketcher. Trip gabungan yang seru….

1. Keraton Kaibon
Tujuan pertama kami adalah Keraton Kaibon. Sempat nyasar dan bolak-balik bertanya dengan orang, akhirnya kami sampai juga di tempat ini. Kami sempat bertanya dengan beberapa orang di jalan mengenai arah menuju Keraton Kaibon, tapi semua mengatakan tidak tau. Namun ketika kami menanyakan dimana letak daerah Kasemen, serta merta mereka langsung memberikan petunjuk arah.
Keraton ini terletak di Kelurahan Kasunyatan, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang. Keraton ini dibangun pada tahun 1815. Nama Kaibon berasal dari kata Kaibuan yaitu Ratu Aisyah, ibunda dari Sultan Syafiuddin yang dinobatkan menjadi raja sementara dalam menjalankan pemerintahan, karena pada saat itu Sultan Syafiuddin yang merupakan sultan ke-21 masih berumur 5 tahun. Pada tahun 1832, keraton ini dihancurkan oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Waktu saya, Vinna, Atit dan Yoso ke sana, di tempat ini sedang ada syuting entah sinetron atau apa, karena kami sempat bertemu Rizki Hanggono dan para krunya. Mungkin karena sedang ada syuting, maka kami tidak ditarik bayaran untuk memasuki kawasan ini bahkan kami berempat sempat dikira bagian dari kru film hehehe……

Sementara Atit dan Yoso asyik menggambar di bawah pohon beringin yang rindang, saya dan Vinna berpanas-panasan mengelilingi setiap sudut komplek keraton yang luas ini. Walaupun kebanyakan sudah merupakan reruntuhan, masih ada gerbang dan tembok pagar bagian depan yang utuh.

2. Benteng Surosowan
Tujuan berikutnya adalah benteng Surosowan. Lokasinya berdekatan dengan Masjid Agung Banten, Kampung Banten, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Serang. Bangunan ini didirikan pada tahun 1526, pada masa pemeritahan Sultan Maulana Hasanudin, sultan kedua Kasultanan Banten. Luas areanya kurang lebih 3,8 hektar. Benteng Surosowan telah tiga kali dibangun akibat hancur karena perang. Terakhir, dihancurkan oleh Daendels pada tahun 1808.
Begitu tiba di kawasan ini, sempat bingung mau masuk ke dalam bentengnya lewat mana, karena semua gerbangnya dikunci. Tau-tau saya melihat Yoso sudah berdiri di atas dinding benteng, kemudian saya melihat tangga kayu yang bersandar di dinding benteng setinggi kurang lebih 2 meter. Akhirnya saya , Vinna dan Atit mengikuti Yoso naik ke atas dinding benteng menggunakan tangga kayu tersebut. Ternyata di dalam benteng kami hanya menemui reruntuhan yang lebih parah daripada di Keraton Kaibon. Bangunan-bangunan di dalamnya nyaris rata dengan tanah. Tetapi kondisi tersebut tidak menyurutkan kami untuk menjelajahi setiap sudutnya walaupun saat itu panas matahari sangat terik. Di tengah benteng kami menemukan kolam yang kini berisi air berwarna hijau, yang dipenuhi ganggang dan lumut. Kolam ini ternyata bernama Kolam Roro Denok, di tengah kolam, terdapat tempat istirahat bernama Bale Kambang. Setelah puas berfoto, kami pun berkeliling. Hasilnya kami menemukan banyak celana dalam pria di dasar beberapa kolam yang berserakan di benteng tersebut. Iyyekkksss!!! Jijay bajay banget dah…..
Ternyata untuk memasuki benteng ini secara legal adalah dengan mengunjungi Museum Kepurbakalaan yang terletak di depan benteng, untuk meminjam kunci gerbang benteng. Ternyata lagi, benteng ini sekarang selalu dikunci karena sering dimasuki orang-orang tidak bertanggung jawab untuk melakukan perbuatan mesum. Wah…pantesan banyak nemu celana dalam pria yang ditinggalkan pemiliknya di sini hehehe…..

3. Masjid Agung Banten
Tidak jauh dari benteng Surosowan, terdapat Masjid Agung Banten. Di lingkungan sekitar masjid banyak pedagang yang rata-rata menjual bakso dan mie ayam. Banyak juga yang menjual kopiah, tasbih, kaligrafi dan minyak wangi, sehingga jalan masuk menuju masjid pun jadi tidak jelas karena dipenuhi lapak-lapak para pedagang. Masjid ini memiliki menara yang indah. Menara di depan masjid ini dibangun pada masa kekuasaan Sultan Haji pada tahun 1620 oleh seorang arsitek Belanda, Hendrik Lucazoon Cardeel. Pada waktu itu, Cardeel memang membelot ke pihak Banten, dan kemudian dianugerahi gelar Pangeran Wiraguna.
Walaupun ada tulisan gelandangan, pengemis dan tukang jualan dilarang berkeliaran di sekitaran masjid tetapi tetap saja di pintu masuk, di halaman, di selasar, di tempat parkir banyak pengemis yang meminta bahkan memaksa agar pengunjung memberikan uang kepada mereka, tukang jualan kantong kresek, tukang foto keliling, dan tukang jualan emping. Saya agak kurang suka dengan suasana masjid dan sekitarnya yang sangat ramai pada hari itu. Apalagi banyak terlihat sampah berserakan di mana-mana. Mungkin juga karena hari itu hari Mingggu jadi pengunjungnya sangat banyak. Area masjid dan menaranya yang indah itu tak ubahnya seperti pasar yang hiruk pikuk oleh orang-orang.
Mata saya kemudian tertumbuk pada kerumunan orang yang berbaris di depan sebuah bangunan yang berada di samping bangunan masjid. Ternyata mereka sedang antri untuk berdoa di kompleks makam yang menurut informasi terdapat makam para sultan Banten dan keluarganya. Waduh ternyata tempat ini banyak dikunjungi orang dengan tujuan berdoa di makam untuk mengharap keberkahan. Mengharap berkah kok ya di makam sih….

4. Jembatan Rantai
Dari Masjid Agung Banten, kemudian kami beralih ke sebuah jembatan putus yang terletak di depan masjid. Jembatan ini bernama jembatan Rantai. Ternyata jembatan ini pun masuk ke dalam benda cagar budaya yang dilindungi. Menurut informasi yag tertera di papan nama, jembatan ini dulu berfungsi sebagai “tol perpajakan” bagi setiap kapal kecil atau perahu pengangkut barang dagangan pedagang asing yag memasuki Kota Kerajaan.
Jembatan ini dibangun dari bata dan karang, serta diduga memakai tiang besi dan papan untuk fungsi penyeberangan dan kerekan rantai yang berfungsi ganda bila ada lalu lalang kapal kecil, jembatan bisa dibuka dan bila tidak ada kapal masuk, jembatan ditutup sehingga berfungsi sebagai sarana penyeberangan orang dan kendaraan darat.
Sayang papan penghubung yang bisa dibuka tutup itu kini sudah tidak ada dan sungai yang konon katanya dulu dilalui kapal-kapal dagang itu sudah dipenuhi tanaman-tanaman liar.

5. Benteng Speelwijk
Benteng Speelwijk adalah tujuan kami berikutnya. Lokasinya terletak dekat pantai, di Kampung Pamarican, Desa Banten, Kecamatan Kasemen. Menurut informasi hasil googling katanya benteng ini hanya terletak 500 meter ke arah utara dari Masjid Agung Banten. Maka dari Masjid Agung Banten kami pun mengambil arah ke kiri sampai melintasi rel kereta api, kemudian berbelok ke kiri melewati rumah-rumah penduduk. Tetapi sejurus kemudian kami malah menemukan jalan yang ditutup palang. Akhirnya kami pun memutar kembali ke jalur semula melewati Masjid Agung Banten dan Benteng Surosowan, kemudian belok kanan ke jalan di samping Benteng Surosowan. Kira-kira 15 menit kemudian kami pun sampai di benteng yang konon namanya diambil untuk menghormati seorang Gubernur Jendral Belanda bernama Speelma. Sementara Atit dan Yoso sibuk menggambar, saya dan Vinna langsung mengelilingi benteng ini.
Seperti di lokasi-lokasi sebelumnya, lagi-lagi saya menjumpai bagian dalam benteng ini digunakan untuk bermain bola oleh masyarakat sekitar dan tempat mencari makan yang nyaman bagi kambing-kambi
ng. Serupa dengan Benteng Surosowan, wujud Benteng Speelwjik juga sudah tinggal reruntuhan dengan menyisakan sedikit bangunan yang masih bisa dinikmati seperti menara pandang yang mungkin dulu digunakan sebagai menara pengintai. Selain itu juga nampak ada bangunan yang ditengarai adalah sebuah makam orang Belanda yang disebut Kerkrof.

6. Masjid Pacinan Tinggi
Ketika akan menuju benteng Speelwijk, kami melintasi masjid ini, tetapi karena tanggung, kami memutuskan ke tempat ini setelah dari Benteng Speelwijk. Sekali lagi, saya mendapati lokasi ini dijadikan tempat bermain bola oleh masyarakat sekitar. Masjidnya sendiri sudah tidak ada, yang tersisa hanya sebuah menara yang kondisinya memprihatinkan dan sisa reruntuhan bangunan yang mungkin dulunya mihrab. Walaupun terdapat papan yang menyatakan bahwa masjid ini termasuk benda cagar budaya tetapi sepertinya hanya sekedar papan nama belaka. Di area ini juga terdapat sebuah makam Cina yang pada nisannya tertera tulisan dalam aksara Cina. Sayang tak satu pun dari kami yang bisa mengartikan aksara Cina tersebut.

Menjelang senja, kami pun menyudahi perburuan kami hari itu dengan sejuta kekaguman akan kejayaan Kesultanan Banten di masa lalu. Semoga saja bangunan-bangunan tersebut tak lekang digerus waktu.

Leave a comment